Jakarta, Tapak.News - Gelar sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers secara daring di ruang Sidang MK pada Rabu (26/1/22), mengungkap dugaan kekeliruan tafsir Pasal 15 ayat (2) huruf (f) UU Pers yang berakibat merugikan hak-hak wartawan dan organisasi profesi wartawan.

Ketua Sindikat Wartawan Indonesia (SWI) Dedik Sugianto sebagai salah satu Saksi Pemohon dalam sidang tersebut menyebut bahwa SWI sebagai salah satu organisasi pers berbadan hukum yang diakui oleh negara melalui SK Kemenkumham kehilangan hak untuk menyusun dan membuat peraturan karena tidak pernah diajak atau diundang, secara penuh diambil-alih oleh Dewan Pers yang dipertanyakan sertifikat assesornya.

"UKW yang dilaksanakan Dewan Pers menggunakan Penguji Kompetensi yang tidak memiliki sertifikat assesor yang dikeluarkan BNSP. Padahal, setiap Penguji Kompetensi wajib memiliki sertifikat asesor dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP " terang Dedik.

Keterangannya itu diperkuat oleh saksi lain, Hika Transisia, Sekretaris umum DPP JNI yang mengatakan di depan ketua majelis hakim, DR. Anwar Usman, pihaknya pun mengalami kerugian karena adanya ketidakjelasan tafsir Pasal 15 ayat (2) huruf (f) UU Pers. Menurutnya, karena ketidakjelasan tafsir tersebut, pihaknya tidak dapat menentukan dan menyusun peraturan-peraturan di bidang pers karena wujud menfasilitasi Dewan Pers tanpa melibatkan JNI sebagai organisasi pers yang telah mempunyai struktur kepengurusan yang jelas, lengkap dan sah.

"Dengan adanya ketidakjelasan Pasal 15 ayat (2) huruf (f) UU Pers, Dewan Pers telah mengambil alih hak organisasi pers untuk menyusun dan membuat Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan," papar Hika.

Sementara itu, Tokoh Pers Nasional Wilson Lalengke turut membenarkan dan mendukung keterangan saksi di persidangan MK terkait permohonan uji materiil UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Secara umum, Kami dari PPWI mendukung keterangan saksi di persidangan MK Rabu kemarin terkait permohonan uji materi UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers,” ungkap alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu, Kamis, (27/01/2022)

Wilson juga berpendapat, ketiadaan aturan teknis pelaksanaan dari pasal 15 ayat (2) dan (3) dari UU Pers ini menjadikan lembaga Dewan Pers yang dibentuk dengan maksud menjalankan Pasal 15 ayat (1) UU Pers dengan mudah tergiring untuk melakukan hal-hal yang di luar kewenangannya. Ia pun menegaskan bahwa masalah kompetensi atau keahlian dan profesi wartawan itu adalah kewenangan BNSP sesuai Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2004 yang telah diperbaharui dengan PP Nomor 10 tahun 2018 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi.

"Apa dasar hukumnya Dewan Pers membuat aturan tentang uji kompetensi wartawan? Jelas illegal alias tidak punya dasar hukum kebijakan dan kegiatan lembaga itu terkait UKW selama ini,” tegas Trainer yang sudah melatih ribuan wartawan, guru, dosen, mahasiswa, ASN, TNI, Polri, pengacara, LSM, ormas dan masyarakat umum itu di bidang jurnalistik itu.

Yang paling aneh, lanjut Lalengke, adalah penentuan status kewartawanan seseorang yang oleh Dewan Pers bagi seseorang hanya diakui sebagai wartawan apabila menjadi konstituen lembaga itu dan telah mengikuti UKW. "Artinya, jika seorang wartawan bergabung di organisasi pers non konstituen Dewan Pers dan tidak memiliki ijazah UKW, plus medianya tidak terdaftar di lembaga itu, maka yang bersangkutan akan dianggap bukan wartawan. Hal konyol ini yang selalu terjadi", ujarnya heran.

Lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, The United Kingdom tersebut mengharapkan agar Majelis Hakim Konstitusi dapat mengembalikan dan mendudukkan tugas dan fungsi masing-masing pihak yaitu Dewan Pers, organisiasi pers, dan wartawan pada posisi yang sebenarnya.